RSS

Kamis, 30 Juni 2011

Oleh-oleh dari B2P2TOOT (Balai Besar Litbang Tanaman Obat dan Obat Tradisional ) Tawangmangu (oˆ⌣ˆ‎o)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
       Indonesia merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman hayati yang dapat digunakan sebagai obat berbagai macam penyakit. Obat-obatan yang berasal dari tanaman atau disebut obat herbal sering digunakan karena memiliki efek samping yang minimal bahkan ada pula yang tidak ditemukan adanya efek samping. Selain itu, keuntungan lainnya adalah pengolahan obat herbal, misalnya direbus atau dihaluskan akan memudahkan masyarakat dalam penggunaannya.
       Dunia kedokteran kini mulai mencoba untuk memanfaatkan obat-obatan herbal tersebut. Salah satu contoh, yaitu adanya klinik Hortus Medicus yang melayani pasien dengan meresepkan obat herbal. Tentunya obat herbal ini telah mengalami standardisasi dan uji klinik sehingga dapat dinyatakan aman untuk dikonsumsi. Oleh karena itu, sebagai mahasiswa kedokteran sebaiknya mulai mengetahui manfaat dari obat herbal tersebut. Praktikum herbal melalui kunjungan ke Balai Besar Litbang Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TOOT) merupakan salah satu cara untuk mengembangkan pemanfaatan obat herbal di dunia kedokteran.

B. Tujuan
1.    Mengetahui pelayanan kesehatan di klinik Hortus Medicus dan pemanfaatan obat herbal untuk penyembuhan penyakit.
2.    Mengetahui koleksi tanaman herbal dan cara pengolahannya sehingga bisa digunakan di griya jamu B2P2TOOT.

C. Manfaat
   Menambah pengetahuan dan ketertarikan mahasiswa kedokteran terhadap pengobatan tradisional.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.  Senyawa berkhasiat dalam tumbuhan
Penelitian dan pengembangan bahan alam untuk farmasi dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok dietary supplement dan kelompok obat. Kelompok dietary supplement pada umumnya terdiri dari botanicals, obat tradisional (jamu), dan fitofarmaka. Kelompok dietary supplement lebih berkembang di negara berkembang seperti Indonesia, sedangkan kelompok obat lebih berkembang di negara barat (Kardono, 2001).
Banyak tumbuhan Indonesia yang telah dimanfaatkan sebagai obat atau kosmetika tradisional, mulai dari jamu gendong, rajangan, jamu terformulasi, dan fitofarmaka. Senyawa kimia dalam tumbuhan telah banyak dikembangkan sebagai bahan baku obat. Senyawa kimia dalam tumbuhan dapat dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu metabolit primer dan sekunder. Metabolit primer adalah senyawa yang dihasilkan oleh proses biosintesis dalam tumbuhan dan digunakan untuk pertumbuhan tumbuhan seperti asam amino, protein, karbohidrat, lemak. Metabolit sekunder merupakan senyawa yang dihasilkan oleh proses biosintesis dalam tumbuhan dan digunakan untuk benteng pertahanan tumbuhan dari pengaruh buruk lingkungan atau serangan hama penyakit dan untuk kelangsungan hidup tumbuhan (Kardono, 2001).
Sekitar 25% dari bahan baku obat dikembangkan dari metabolit sekunder bahan alam (Kardono, 2001). Dari 252 obat dasar dan esential yang ditetapkan oleh WHO, 11 % diantaranya merupakan senyawa obat yang secara eksklusif berasal dari tumbuhan dan dalam jumlah yang cukup berarti juga terdapat senyawa sintesis yang berasal dari   prekursor bahan alam. Berdasarkan biosintesisnya, senyawa metabolit sekunder dapat dikelompokkan menjadi :
1.    Terpenoid dan steroid
Memiliki struktur terdiri 5 hingga > 30 atom Carbon dengan struktur sangat kompleks. Contoh senyawa terpenoid : minyak atsiri dan glikosida (glikon dan aglikon)
2.    Alkaloid
Strukturnya mengandung gugus atom N, yang berasal dari asam amino. Alkaloid memiliki aktivitas yang menonjol dalam dunia pengobatan.
3.    Senyawa fenolat
Struktur senyawa ini memiliki gugus –OH. Senyawa golongan fenolat yang banyak dikenal adalah flavonoid, tannin, dan antrasena
Tumbuhan dipilih sebagai sumber penyedia bahan yang penting dalam bidang pengobatan disebabkan oleh beberapa hal, antara lain :
·      Tumbuhan dapat menghasilkan senyawa murni yang langsung dapat dimanfaatkan sebagai obat.
·      Tumbuhan dapat menghasilkan senyawa kimia yang dapat dijadikan sebagai senyawa model dalam proses sintesis total atau sintetis parsial (modifikasi struktur) menjadi senyawa yang lebih efektif atau kurang toksis
·      Ekstrak tumbuhan dapat dimanfaatkan untuk pengobatan, tanpa harus melalui tahap isolasi senyawa murni.
Diketahui satu tumbuhan mengandung ribuan senyawa metabolit sekunder yang diyakini sangat berperan sebagai penghasil senyawa kimia yang memiliki aktivitas farmakologis. Sangat menjadi tantangan bagi para ilmuwan untuk dapat menggali senyawa-senyawa kimia yang terdapat dalam tumbuhan yang kedepannya dapat dimanfaatkan sebagai bahan obat (Fabrican dan  Farsworth, 2001; Rates, 2001; Pimm dkk,  1995).
Dalam proses pemilihan sampel tumbuhan, terdapat beberapa metode pendekatan yang digunakan antara lain (Fabrican dan  Farsworth, 2001; Cordell, 1995; Hamburger dan Hostettmann,  1991) :
  • Pemilihan sampel secara random yang dilanjutkan dengan skrining kandungan kimianya. Kesulitan dalam menggunakan metode ini adalah ini sangat sukar memprediksikan kemungkinan bioaktivitas senyawa yang telah berhasil diisolasi, karena satu golongan senyawa tertentu akan dapat memiliki aktivitas farmakologis yang beragam.
  • Pemilihan sampel secara random yang kemudian dilanjutkan dengan pengujian satu atau lebih bioaktivitasnya. Pada pendekatan ini sampel yang telah dikumpulkan dilakukan skrining bioaktivitasnya berdasarkan target bioaktivitas apa yang diinginkan. Dengan menggunakan metoda isolasi "bioassay guided" kemungkinan senyawa yang diisolasi adalah senyawa yang memiliki bioaktivitas yang diinginkan
  • Pemilihan sampel berdasarkan laporan atau jurnal ilmiah tentang  pengujian bioaktivitas suatu tumbuhan.
  • Pemiihan sampel berdasarkan informasi penggunaan tradisional tumbuhan tertentu. Biasanya sumber informasi adalah seorang herbalis ataupun dari masyarakat yang biasa menggunakan tumbuhan obat
Setelah tahap pemilihan sampel tumbuhan, selanjutnya dilakukan proses isolasi senyawa kimia yang terkandung dalam sampel tumbuhan. Ada 2 proses yang berbeda dalam tahap isolasi senyawa kimia yaitu:
  • Bioassay guided. Proses isolasi dilakukan dengan selalu menguji bioaktivitas dari fraksi-fraksi yang dihasilkan sampai akhirnya mengerucut pada satu senyawa murni yang mempunyai aktivitas farmakolgis yang diinginkan. Kelebihannya adalah senyawa yang terisolasi adalah benar-benar senyawa yang aktif terhadap bioassay yang diinginkan.
  • Pemisahan senyawa kimia lansung tanpa menggunakan bioassay guided. Isolasi ini dilakukan dengan melakukan pemisahan secara kimia tanpa melakukan pengujian bioaktivitas tiap fraksi. Keuntungan menggunakan metode ini adalah banyaknya senyawa kimia baru yang akan dapat dihasilkan, yang mempunyai kemungkinan beragam bioaktivitas. Dalam arti, tidak hanya satu target biaktivitas saja yang dituju.
Senyawa murni yang telah diisolasi selanjutnya ditentukan struktur kimianya. Pengetahuan dasar yang diperlukan dalam proses penentuan struktur senyawa kimia adalah pengetahuan mengenai spektroskopi. Berapa ilmu spektroskopi yang diperlukan adalah spektroskopi Ultraviolet-Vis (UV-Vis), Infra Red (IR), Mass Spectroscopy (MS)  dan NMR (Nuclear Magnetic Resonance) spectroscopy (Philipson,  2001; Pimm dkk, 1995).
Untuk mendapatkan senyawa yang lebih efektif ataupun dengan tujuan mengurangi toksisitasnya, dapat dilakukan modifikasi struktur. Selain modifikasi struktur, senyawa yang telah diisolasi dapat menjadi model senyawa dalam proses sintetis total. Sintetis total dilakukan biasanya untuk senyawa yang memepunyai struktur sederhana, dan tidak memerlukan biaya yang lebih mahal. Adakalnya dalam proses penemuan obat ini, akan lebih memerlukan waktu dan biaya yang lenih mahal bila senyawa yang diinginkan itu diisolasi ulang dari alam. Oleh karena itu diupayakan agar obat dapat disintesis total di laboratorium. Tapi tidak semua senyawa alam dapat disintesis, karena kerumitan strukturnya, vinkristin da vinblastin sampai saat ini masih dihasilkan dari tumbuhan, dan belum dapat dibuat secara sintesis.

B.  Jenis-jenis preparasi bahan herbal
Cara Konvensional
1.    Pipisan (Mipis)
Cara menyari dengan alat pipisan ini merupakan cara pembuatan obat tradisional khas Indonesia. Cara ini biasanya digunakan untuk bahan baku segar (seperti daun, biji, bunga, rimpang) dan jarang digunakan untuk bahan keras (kayu, klika, dan akar). Bahan yang telah dipilih dan telah dibersihkan kemudian dihaluskan dengan bantuan sedikit air matang dengan alat pipisan. Cara menghaluskannya mula-mula ditumbuk kemudian digerus. Masa yang sudah halus dan mengandung air diperas melalui kalo (saringan dari anyaman bambu) atau kain kasa, hingga diperoleh ¼ cangkir jamu. Jika perasan belum mencapai 1/4 cangkir dapat ditambah air matang secukupnya melalui ampasnya kemudian diperas lagi. Jika diperlukan dapat ditambah garam sedikit, gula aren secukupnya, dan jeruk nipis. Jika tidak memiliki alat pipisan, cara ini dapat dilakukan dengan blender.
2.    Seduhan
Menyari bahan baku dengan cara menyeduh mirip dengan menyeduh teh. Bahan yang sering digunakan antara lain daun, bunga, dan bahan lunak lainnya. Bahan tersebut dipotong kecil-kecil dengan gunting atau dirajang dengan pisau. Untuk bahan yang keras dapat juga digunakan cara ini, tetapi harus diserbuk terlebih dulu. Cara seduhan ini dapat digunakan untuk takaran tunggal atau takaran sehari. Untuk pemakaian sehari, sisa harus disimpan di tempat tertutup, jika memungkinkan di tempat sejuk (lemari es). Serbuk yang sudah berjamur, dimakan serangga, atau sudah menggumpal, tidak boleh digunakan. Cara pembuatan : bahan baku yang digunakan dapat berupa bahan baku segar atau bahan yang sudah dikeringkan. Sebelum diramu, bahan-bahan dipotong kecil-kecil atau diserbuk. Bahan tersebut kemudian diramu sesuai dengan formula. Cara penyiapan : ambil ramuan seperti yang tertera pada monografi, kemudian diseduh dengan 1/2 gelas (100 ml) air panas (air yang diangkat setelah mendidih). Diamkan selama lebih kurang beberapa saat hingga suhu air tahan dipegang dengan tangan (tidak terlalu panas lagi), kemudian saring bila perlu. Jika diperlukan pula dapat ditambah garam, madu, gula aren, dan jeruk nipis.
Cara Modern
Senyawa metabolit sekunder dipisahkan dari tumbuhan dengan car diekstraksi sehingga dihasilkan ekstrak. Ekstraksi adalah proses pemisahan senyawa kimia yang dapat larut agar terpisah dari bahan yang tidak larut dengan menggunakan penyari cair.
Prinsip ekstraksi:
Sediaan yang berbentuk serbuk dicampur dengan menggunakan cairan pelarut (air, alkohol,eter) menjadi ekstrak cair. Jika ekstrak cair diuapkan, maka akan menjadi ekstrak kental. Jika ekstrak kental dikeringkan, maka akan menjadi kestrak kering. Ekstrak kering yang digunakan sebagai bahan obat dapat diformulasikan menjadi bentuk kapsul, tablet, sirup, dan salep. Beberapa contoh bentuk formulasi ekstrak kering, yaitu:
1.    Pil
Pil merupakan upaya kepraktisan obat tradisional sehingga lebih mudah penyimpanannya dan penggunaannya. Cara pembuatannya: bahan-bahan setelah diramu kemudian diserbuk sampai halus dan tercampur homogen. Serbuk tersebut kemudian ditanak seperti nasi. Upaya tersebut di samping untuk membuat masa pil yang lengket juga dimaksudkan untuk mensterilkan. Terjadi masa pil, bahan tersebut dibulatkan dengan alat t atau dibulatkan dengan tangan yang bersih. Berat pil a berkisar antara 150 mg dan 200 mg. Takaran tunggal antara n 12 pil.
Sediaan pil jarang dijumpai pada obat tradisional Cina. Obat tradisional Cina bentuk boli sering dibalut dengan bola lilin atau bola plastik. bungkusan dengan lilin tersebut bertujuan agar obat tradisional tidak lekas rusak karena kadar air bolus semacam ini agak tinggi. Boli pada umumnya agak lunak, dan dapat separo atau seperempatnya sesuai dengan takaran yang tertulis dalam petunjuk. Beberapa industri obat tradisional Indonesia ada yang membuat produk tersebut, produk tersebut disebut juadah atau majun.
2.    Kapsul
Pembuatan kapsul untuk keperluan sendiri dapat menggunakan serbuk bahan baku. Kapsul obat tradisional untuk dijual, bahan baku yang diisikan harus berupa bahan ramuan yang sudah diekstraksi, tidak boleh menggunakan bahan serbuk. Cara ekstraksi: bahan pelarut untuk proses ekstraksi dapat menggunakan air, etanol, atau campuran air dan etanol. Ekstraksi dapat dilakukan dengan cara perendaman (maserasi) atau pendidihan (infundasi). Cara maserasi: bahan ramuan direndam dalam pelarut biasanya campuran etanol air sama banyak, selama satu sampai tiga hari. Hasil maserasi disaring, beningan ditampung dan diuapkan sampai kental. Bahan yang sudah kental ditambah dengan tepung beras, diaduk sampai merata, dan dikeringkan sampai kering. Ekstrak ini sudah siap untuk diisikan ke dalam kapsul. Cara infundasi: bahan ramuan dididihkan dalam air selama 15 menit. Biasanya jumlah air yang diperlukan antara tiga dan lima kali bahan ramuan. Hasil pendidihan kemudian disaring, beningan ditampung dan diuapkan sampai kental. Bahan yang sudah kental ditambah dengan tepung beras dan diaduk sampai homogen. Campuran tersebut kemudian dikeringkan sampai menjadi ekstrak kering.
3.    Sirup
Sirup dapat dibuat dari infusa ramuan yang diperlukan kemudian dilarutkan pada gula atau madu. Larutan gula atau madu selain memberikan rasa manis, juga memberi kalori, dan mempunyai daya untuk mengawetkan jamu.
Cara pembuatan : 500 ml infusa dipanaskan, kemudian ditambah gula atau madu secukupnya (lebih kurang 200 gram) lalu diaduk sampai larut. Setelah larut didinginkan kemudian dituang ke dalam botol yang ukurannya sesuai.

C.  Saintifikasi Jamu
a.    Definisi
Saintifikasi jamu adalah upaya untuk mengangkat jamu agar dapat mempunyai nilai ilmiah. Pembuktian ilimiah jamu tersebut melalui penelitian berbasis pelayanan. Hal ini didukung oleh regulasi dari Departemen Kesehatan yaitu Permenkes Nomor 003/Menkes/Per/I/2010 tentang saintifikasi jamu dalam penelitian berbasis pelayanan.
b.    Tujuan dan manfaat
Tujuan pengaturan saintifikasi jamu menurut Pasal 3 Permenkes 3/2010 adalah:
1)   Mendorong terbentuknya jejaring dokter atau dokter gigi dan tenaga kesehatan lainnya sebagai peneliti dalam rangka upaya preventif, promotif, rehabilitatif dan paliatif melalui penggunaan jamu.
2)   Meningkatkan kegiatan penelitian kualitatif terhadap pasien yang tidak sakit dengan penggunaan jamu.
3)   Meningkatkan penggunaan jamu di kalangan profesi kesehatan.
4)   Menjamin jamu yang aman, bermutu dan bermanfaat serta melindungi masyarakat dari penggunaan jamu yang tidak tepat.
5)   Meningkatkan penyediaan jamu yang memiliki kahsiat nyata yang teruji secara ilmiah dan dimanfaatkan secara luas baik untuk pengobatan sendiri maupun dalam fasilitas pelayanan kesehatan.
c.    Proses
Proses saintifikasi jamu dilandasi oleh adanya pengalaman empiris, yaitu terdiri dari tahapan sebagai berikut :
1)   Seleksi, dengan prioritas pada penyakit utama rakyat, dan yang kemungkinan manfaatnya besar
2)   Literature review dan observasi untuk informasi keamanan dan farmakodinamika
3)   Pengujian toksisitas (akut, kronis, spesifik) dan konfirmasi farmakodinamika
4)   Standardisasi dan pengembangan sediaan/formulasi
5)    Pengujian klinis pada manusia dengan mengacu pada GCP
6)    Penentuan dose level.
a)    Fase 1       : konfirmasi temuan pada uji praklinis.
b)   Fase 2       : studi pendahuluan pada pasien.
c)    Fase 3       : bukti manfaat dan keamanan
d)   Fase 4       : penggunaan luas pada populasi pasien
d.   Indikasi dan penyakit yang dapat diterapi dengan herbal


1)        Analgetik, antiinflamasi
2)        Imunomodulator
3)        Diabetes
4)        Hiperurikemia
5)        Hipertensi
6)        Antihemoroid
7)        Kolesterol
8)        Nefrolitiasis
9)        Fertilitas
10)    Batuk
11)    Common cold
12)    Roborantia
13)    Nafsu makan
14)    Antikanker
15)    Asthma
16)    Hepatoprotektor
17)    Gangguan lambung
18)    Preventif-promotif


BAB III
PELAKSANAAN KEGIATAN DAN HASIL

Kegiatan praktikum herbal di Balai Besar Litbang Tanaman Obat dan Obat Tradisional. (B2P2TOOT) dilakukan pada Rabu, 12 Oktober 2010 dimulai pukul 09.00 pagi. Agenda kegiatan pertama adalah penjelasan dari dr. Danang Ardiyanto mengenai klinik saintifikasi jamu.
Setelah dijelaskan mahasiswa kemudian melakukan kunjungan ke klinik saintifikasi jamu “ Hortus Medicus” untuk mengetahui alur pelayanan kesehatan di klinik tersebut. Pasien akan dilayani sesuai dengan standar klinik lainnya, yaitu dimulai dengan pendaftaran kemudian informed consent dan request consent. Informed consent memang harus dilakukan untuk meminta persetujuan pasien atas tindakan medis yang akan dilakukan. Sedangkan request consent adalah tindakan medis yang diinginkan pasien untuk mengobati keluhannya. Perbedaan klinik saintifikasi jamu dengan klinik pada umumnya adalah pasien pada klinik saintifikasi jamu dianggap sebagai pasien sebenarnya dan juga sebagai kriteria inklusi penelitian (observasi klinis). Dokter – dokter yang bekerja di klinik saintifikasi jamu ini sebelumnya telah mengikuti pelatihan khusus sebagai dokter herbal. Setelah pasien diperiksa selanjutnya pasien akan diberikan resep yang dapat diambil di griya jamu. Griya jamu merupakan tempat pengambilan obat herbal yang telah diolah dan disesuaikan dengan penyakit. Penulisan resep obat herbal berbeda dengan resep pada umumnya karena mengikuti formularium dengan koding tertentu. Obat herbal di griya jamu terdiri dari ramuan berupa simplisia atau ekstrak dan kapsul berisi jamu untuk anak kecil atau pasien yang tidak suka rasa pahit. Obat herbal diberikan secara bertahap selama satu minggu dengan keuntungan maintenance penyembuhan penyakit jauh lebih baik jika dibandingkan dengan obat kimia.
Agenda kedua adalah kunjungan ke laboratorium terpadu yang berperan penting dalam pengolahan obat herbal sehingga aman digunakan masyarakat. Balai ini memiliki tujuh laboratorium, yaitu laboratorium galenika, fitokimia, proteksi hama penyakit tanaman, instrument, kultur jaringan tanaman, biomolekuler, dan mikrobiologi.
Laboratorium galenika merupakan tempat pembuatan ekstrak dari tanaman yang ada di kebun herbal. Ekstrak merupakan sediaan kering, kental atau cair yang dibuat dengan menyari simplisia nabati atau hewani dengan menggunakan penyari yang cocok seperti air, eter, dan alkohol. Ekstraksi diperlukan untuk memisahkan senyawa kimia yang dapat larut pada obat herbal. Untuk mengetahui jenis senyawa kimia yang terkandung dalam tanaman tersebut maka dilakukan pemeriksaan dengan berbagai pereaksi di laboratorium fitokimia. Selanjutnya setelah diketahui jenis senyawa kimia tersebut maka dapat dilakukan analisa penetapan kadar di laboratorium instrumen. Kadar senyawa dapat berbeda-beda pada tanaman walaupun pada beberapa tanaman memiliki kandungan senyawa kimia yang sama. Beberapa cara dapat dilakukan untuk analisa kadar seperti Thin Layer Chromatography (TLC), High Pressure Thin Layer Chromatography (HPTLC) dan spektrofotometer. TLC dan HPTLC jauh lebih valid dibandingkan dengan spektrofotometer karena pada spektrofotometer zat yang akan dianalisa harus dipisahkan terlebih dahulu dan jika pemisahan ini tidak sempurna maka akan menyebabkan kesalahan dalam penetapan kadar. Setelah dilakukan ekstraksi, ekstrak akan melalui uji pre klinik sampai dengan uji klinik untuk kemudian direkomendasikan layak atau tidak sebagai obat herbal.
Pada laboratorium proteksi hama penyakit tanaman dapat dilakukan isolasi hama, pengidentifikasian, serta pembasmian menggunakan bahan yang tepat supaya hama tersebut dapat dimusnahkan. Pada laboratorium kultur jaringan, tanaman langka atau yang jumlahnya masih sedikit akan dilakukan kulturisasi sel muda. Hal ini bertujuan untuk memperbanyak metabolit sekunder yang berkhasiat dalam penyembuhan penyakit. Laboratorium berikutnya adalah laboratorium biomolekuler. Laboratorium ini digunakan untuk merekayasa DNA tumbuhan dengan tujuan memperbaiki kualitas dari tanaman herbal tersebut. Yang terakhir laboratorium mikrobiologi, di laboratorium ini dapat dilakukan analisa bahan pencemar baik jamur maupun bakteri. Pada laboraotorium ini juga dilakukan kontrol kualitas jamu sehingga kualitas jamu tidak semakin menurun.
BAB IV
PEMBAHASAN

Dari hasil kegiatan praktikum herbal yang dilakukan oleh kelompok I didapatkan informasi mengenai kegiatan yang dapat dilakukan di B2P2TO-OT. Kegiatan tersebut meliputi penanaman tanaman herbal, proses pemanenan, pembuatan simplisia, pembuatan ekstrak, penelitian tentang kandungan dan khasiat tentang tanaman herbal, sampai pada pengobatan dan peresepan tanaman herbal untuk aplikasi klinis.
Proses penanaman di B2P2TO-OT dilakukan pada lahan seluas 19  hektar yang terdiri dari 950 spesies tanaman obat. Berbagai jenis spesies tanaman obat ini berasal dari Indonesia dan juga luar negeri. Lahan tersebut tersebar di beberapa daerah tergantung dari kebutuhan tiap tanaman akan suhu yang optimum dan kondisi tanah yang sesuai. Hal ini mempengaruhi kandungan zat aktif yang terdapat di dalam tanaman obat tersebut. Penanaman yang dilakukan oleh B2P2TO-OT bekerjasama dengan para petani di daerah sekitar sehingga dapat memberikan lapangan pekerjaan untuk penduduk sekitar dan meningkatkan taraf hidupnya. Penanaman yang dilakukan di B2P2TO-OT dilakukan pada dua area yaitu di rumah kaca dan juga di lahan terbuka. Penanaman yang dilakukan di rumah kaca berujuan untuk adaptasi dan pelestarian tanaman.
Proses kedua setelah penanaman tanaman yaitu proses pemanenan. Adapun skema kegiatan pasca panen meliputi :
Pengumpulan bahan baku →sortasi basah →pencucian →pengirisan →penimbangan basah →perubahan bentuk →pengeringan →sortasi kering →penimbangan kering→pengepakan→pelabelan→penyimpanan→pengamatan.
Proses selanjutnya setelah pemanenan yaitu dilakukan penelitian mengenai kandungan zat aktif yang terdapat dalam tiap tanaman obat secara kualitatif dan kuantitatif. Sebelumnya, dilakukan ekstraksi untuk memisahkan substrat dan zat aktifnya dengan menggunakan pelarut. Proses ini dilakukan di laboratorium galenika. Penelitian secara kualitatif bertujuan untuk mengetahui kandungan metabolit sekunder yang terdapat dalam tanaman herbal yang dapat berguna untuk pengobatan. Penelitian ini dilakukan di laboratorium fitofarmaka dengan menggunakan berbagai macam reagen yang dapat bereaksi terhadap zat aktif tertentu. Apabila didapatkan reaksi positif maka terjadi perubahan warna. Sedangkan pengukuran kadar zat secara kuantitatif dilakukan di laboratorium instrumen. Pada laboratorium ini terdapat beberapa alat yang dapat meneliti besarnya kadar zat aktif dalam tanaman. Alat-alat tersebut antara lain densitometri, High Pressure Liquid Chromatography (HPLC), dan spektofotometri. Selain laboratorium yang disebutkan diatas, di B2P2TO-OT juga memiliki laboratorium proteksi hama penyakit tanaman, laboratorium kultur jaringan tanaman, laboratorium biologi molekuler, dan laboratorium mikrobiologi. Laborarotium proteksi hama penyakit tanaman digunakan untuk identifikasi jenis penyakit tanaman dan cara mengatasinya. Laboratorium kultur jaringan tanaman digunakan untuk perbanyakan tanaman terutama untuk tanaman langka dan untuk memproduksi metabolit sekunder. Laboratorium biologi molekuler untuk mengkombinasi atau merekayasa DNA dari tumbuhan agar didapatkan jenis tanaman yang lebih baik lagi. Laboratorium mikrobiologi untuk mengetahui cemaran mikroba dalam simplisia.
Kegiatan lainnya yang juga dilakukan di B2P2TO-OT yaitu kegiatan pelayanan kesehatan pada pasien di poliklinik saintifikasi jamu Hortus Medicus. Adapun alur pelayanan kesehatan pada poliklinik ini yaitu :
Pendaftaran→pemeriksaan→peresepan di griya jamu.
Pada saat pendaftaran pasien diwajibkan mengisi informed consent dan request consent. Pada informed consent berisi mengenai persetujuan pasien mengenai langkah pengobatan yang akan diberikan dokter. Pada saat pendaftaran ini pasien juga dimintai nomor telepon untuk memantau efek obat herbal terhadap pasien. Sedangkan pada request consent berupa permintaan pasien untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Selanjutnya pasien mendapatkan pemeriksaan di ruang periksa oleh dokter. Pada saat pemeriksaan pasien di observasi untuk mengetahui apakah pasien memenuhi kriteria tertentu untuk sampel penelitian mengenai manfaat obat herbal. Apabila pasien tidak memenuhi kriteria tersebut maka pasien hanya diberikan pengobatan saja.
Setelah diperiksa pasien diberikan resep untuk diambil di griya jamu. Obat yanng diberikan di griya jamu terdapat dalam dua bentuk sediaan yaitu kapsul dan ramuan/racikan. Resep diberikan dalam bentuk formularium dan ditulis dalam kode tertentu sesuai dengan jenis penyakit pasien. Peresepan diberikan dalam bentuk paket dimana satu paket obat herbal dapat digunakan untuk satu minggu penggunaan. Harga satu paket obat berkisar Rp.20.000. Pada setiap kemasan obat tertera cara pemakaian obat herbal tersebut.
BAB V
PENUTUP

A.  Simpulan
1.    Kegiatan di B2P2TO-OT meliputi penanaman tanaman herbal, proses pemanenan, pembuatan simplisia, pembuatan ekstrak, penelitian tentang kandungan dan khasiat tentang tanaman herbal, sampai pada pengobatan dan peresepan tanaman herbal untuk aplikasi klinis.
2.    Laboratorium terpadu B2P2TO-OT berperan penting dalam pengolahan obat herbal sehingga aman digunakan masyarakat. Balai ini memiliki tujuh laboratorium, yaitu laboratorium galenika, fitokimia, proteksi hama penyakit tanaman, instrument, kultur jaringan tanaman, biomolekuler, dan mikrobiologi.
3.    Klinik saintifikasi jamu yang berada di B2P2TO-OT berbeda dengan klinik pada umumnya karena pasien pada klinik saintifikasi jamu dianggap sebagai pasien sebenarnya dan juga sebagai kriteria inklusi penelitian (observasi klinis)
B.  Saran
1.    Fasilitas di klinik Saintifikasi Jamu “Hortus Medicus” dapat ditambah sehingga dapat menunjang pengembangan dan penelitian di B2P2TO-OT
2.    Penggunakan obat herbal harus dilestarikan karena obat herbal memiliki efek samping yang minimal bahkan tidak ditemukan adanya efek samping.

DAFTAR PUSTAKA
Fabrican, D.S and Farsworth, N.R. 2001. The value of plants used in traditional  medicine for drug discovery. Enviromental Health Prespectives 109:69-75.
Philipson, J.D. 2001. Phytochemistry and medicinal plants. Phytochemistry, 56:237-243
Rates, S. M. K. 2001. Plants as source of drugs. Toxicon 39:603-613.
Pimm, S. L., Russell, G. J., Gittleman, J. L. and Brooks, T.M. 1995. The future of biodiversity.  Science 269:347-350.
Cordell, G.A. 1995. Changing strategies in natural product chemistry. Phytochemistry 40:1585-1612.
 Hamburger, M. and  Hostettmann, K. 1991. Bioactivity in plants: the link between Phythochemistry and  Medicine.  Phytochemistry 30: 364-3874
Kardono, L. B. S. 2001. Penelitian dan Pengembangan Bahan Alam di Indonesia serta Perlindungannya. Berita Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, 42: 3.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar